Jumat, 11 Oktober 2013

Identitas Etnis Sebagai Penyebab Pecahnya MNLF

Selama belajar Ilmu Hubungan Internasional selama kurang lebih tujuh semester ini, saya dihadapkan dengan realita bahwa banyak negara/organisasi di dunia ini yang terpecah akibat konflik yang disebabkan oleh perbedaan etnis dan diskriminasi terhadap etnis tertentu. Etnis yang tertindas kemudian melakukan gerakan “pemisahan” dari suatu organisasi induk nya. Hal ini juga yang nampaknya menjadi latar belakang pecahnya Moro National Liberation Front (MNLF) menjadi Moro Islamic Liberation Front (MILF).



Hashim Salamat merupakan pendiri MILF pada awalnya merupakan Ketua Bidang Hubungan Luar Negeri MNLF. Dia kemudian menyatakanan memisahkan diri dari MNLF pada 1977 karena tidak menyetujui penandatanganan Tripoli Agreement 1976. Perseteruan antara Hashim Salamat dengan Pendiri MNLF, Nur Misuari dilatarbelakangi oleh beberapa faktor. Faktor yang paling mencolok adalah faktor identitas etnis.



Perseteruan antara etnis Manguindanao dengan Tausug telah terjadi cukup lama di Filipina Selatan. Nur Misuari yang merupakan seorang Tausug selalu mengunggulkan etnisnya dan menempatkannya pada posisi strategis di jajaran MNLF. Bahkan desakan anggota Komite Sentral MNLF yang menginginkan Hashim Salamat menjadi Wakil Ketua MNLF pun ditolak oleh Nur Misuari. Hal inilah yang membuat Hashim Salamat yang merupakan etnis Manguindanao tidak terima. Etnis Manguindanao merupakan etnis muslim terbesar di Mindanao. Kebijakan Nur Misuari ini kemudian dianggap sebagai tindakan untuk memarjinalkan etnis Manguindanao. Untuk itulah Hashim Salamat memisahkan diri dari MNLF dan mendirikan “New MNLF” sebagai cikal bakal MILF pada tahun 1984.

Mereka Milik Siapa?

Pada sekitaran Bulan Agustus – September 2013 yang lalu, saya berkesempatan untuk melakukan Kuliah Kerja Praktek/Magang di Filipina Selatan, tepatnya di Pulau Mindanao. Suatu Pulau di Negara Filipina bagian selatan yang dikenal karena konfliknya. Memang program magang ini merupakan mata kuliah wajib yang harus ditempuh oleh setiap mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional di Universitas Slamet Riyadi – Solo. Saya memilih Filipina sebagai tempat magang karena memang saya ingin mengangkat konflik di negara tersebut sebagai topik skripsi saya nantinya.
Institusi tempat magang saya adalah Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) di Davao City. Saya merasa senang mendapatkan kesempatan langka yang mungkin tidak bisa dirasakan oleh mahasiswa lain. Dalam program magang ini saya mengangkat topik “Peran KJRI Davao City dalam Memberdayakan WNI di Filipina Selatan” Topik ini saya ambil setelah saya diajak oleh Tim KJRI Davao City untuk menyalurkan bantuan ke WNI pemukim di Daerah Kiamba. Saya baru tahu ternyata WNI kita yang tinggal di Filipina Selatan, khusunya Pulau Mindanao ini kehidupannya sangat tidak layak. Bayangan saya sebelumnya jika ada WNI yang memilih tinggal di luar negeri pasti kehidupannya jauh lebih baik dibandingkan di Tanah Airnya sendiri. Ternyata bayangan saya tersebut meleset.



Selang seminggu setelah mengunjungi Kiamba, saya mendapatkan kesempatan lagi untuk mengunjungi WNI, kali ini ke Daerah Pagang, Provinsi Sarangani, Filipina Selatan. Kunjungan saya kali ini adalah sebagai tim advance/ tim pendahulu untuk mempersiapkan acara social gathering dengan WNI pemukim. Saya berkesempatan untuk menginap satu malam di Municipality of Glan. Di Pagang ini ada sesuatu yang menyentuh saya, karena sekali lagi saya dihadapkan dengan kondisi WNI kita yang hidup sangat sederhana. Disini saya berkesempatan bercakap – cakap dengan mereka. Mereka menceritakan kalau mayoritas mata pencaharian mereka adalah buruh pemanjat pohon kelapa dan nelayan.
Kondisi tersebut membuat saya berfikir, mengapa mereka dengan kondisi seperti itu masih betah untuk tinggal di negara orang? Rupanya mereka tinggal di Filipina Selatan sudah sejak lama bahkan mereka telah beranak pinak di Filipina Selatan itu sendiri. Maka tidak heran jika kebanyakan dari mereka tidak bisa berbahasa Indonesia, bahkan banyak juga yang belum pernah menginjakan kaki di Indonesia, tetapi mereka berani menyebut diri mereka sebagai “Warga Negara Indonesia”. Sungguh hal ini merupakan sebuah ironi. Ternyata mereka ini masuk kedalam kategori stateless alias tidak memiliki kewarganegaraan. Kenapa demikian? Selama ini mereka mengaku sebagai WNI tetapi melihat realita yang ada, mereka tidak bisa berbahasa Indonesia, mereka tidak memiliki dokumen yang resmi dari Indonesia sebagai WNI, bahkan mereka lahir dan tumbuh di Filipina hal ini telah memperkuat kalau status mereka bukanlah WNI.



Lalu apakah mereka Warga Negara Filipina? Sampai saat ini Pemerintah Filipina belum mengakui mereka sebagai warga negaranya, meskipun mereka sudah hidup dan beranak – pinak di wilayah kedaulatannya. Pemerintah Filipina belum mau mengakui mereka sebagai warga negaranya menurut saya karena mereka para “WNI” ini termasuk kedalam kaum marjinal atau terpinggirkan yang hanya akan menyusahkan dan memberi beban bagi pemerintah saja. Hal ini jelas menambah penderitaan para “WNI” tersebut.
Karena mereka mengaku sebagai “WNI”,  mau tidak mau mereka berada dibawah naungan dan bimbingan dari Perwakilan RI terdekat yakni KJRI Davao City. Pihak Konsulat sendiri meskipun merasa “dilema” tetap menganggap mereka sebagai WNI yang harus dibina dan dilindungi. Untuk itu secara rutin KJRI Davao City menyalurkan bantuan ekonomi, sosial dan pendidikan kepada para “WNI” tersebut. Para “WNI” ini berharap agar nantinya mereka bisa memperoleh dwi kewarganegaraan sebagai WNI dan juga Warga Negara Filipina. Hal ini akan mempermudah mereka dalam mendapatkan akses akses sosial di negara tempat mereka tinggal sekarang. Hal inilah yang harus segera dirundingkan dan dituntaskan oleh pemerintah kedua negara baik Indonesia dan Filipina, agar status kewarganegaraan mereka menjadi lebih jelas.