Davao City
merupakan kota terbesar yang ada di Pulau Mindanao di Filipina Selatan. Di kota
ini terdapat beberapa konsulat dari beberapa negara salah satunya adalah
Indonesia. Selain itu banyak juga kita temukan kantor – kantor perwakilan dari
INGOs (International Non Governmental Organizations). Saya berkesempatan
mengunjungi dan tinggal di kota ini bersama satu rekan saya dari Indonesia,
kami berada di Davao dalam rangka menjalani program Kuliah Kerja Profesi (KKP),
salah satu mata kuliah yang harus kami tempuh sebelum skripsi.
Ketika
menginjakan kaki pertama kali di Davao City tampak bahwa kota ini sangat siap
untuk menjadi salah satu kota tujuan turis – turis mancanegara termasuk saya
dan satu rekan saya dari Indonesia. Selain sarana transportasi yang memadahi
karena beroperasi selama 24 jam. Yang membuat saya kagum adalah petunjuk –
petunjuk jalan dan toko – toko serta gedung – gedung pemerintahan semuanya
tertulis dalam Bahasa Inggris. Hal ini
jelas dapat mempermudah para turis mancanegara yang akan mencari kebutuhan –
kebutuhan nya selama tinggal di davao. Selain gedung – gedung, para pengemudi
angkutan umum pun banyak yang sudah mengenal Bahasa Inggris, ya meskipun hanya
Bahasa Inggris sederhana saja, tetapi sudah cukup membantu.
Saya ingin
membandingkan dengan Kota Solo di Provinsi Jawa Tengah. Mengapa? Karena saya
lahir dan tinggal di kota ini sehingga saya sudah cukup mengenal Kota Solo
dengan baik. Kota Solo saat ini juga sedang gencar – gencar nya untuk menjadi
salah satu kota tujuan wisata bagi turis – turis mancanegara. Hal ini dapat
terlihat dari pembangunan hotel – hotel dan taman – taman yang marak belakangan
ini. Namun rasanya dengan hanya membangun hotel – hotel saja belumlah cukup.
Masih banyak PR yang harus dilakukan oleh Pemkot Solo. Jika berkaca dari Kota
Davao yang kurang dari Solo adalah kurangnya petunjuk – petunjuk dalam Bahasa
Inggris. Toko – toko, gedung – gedung pemerintahan hingga petunjuk jalan masih
menggunakan Bahasa Indonesia dan bahkan malah dikombinasikan dengan Aksara Jawa
hal ini tentunya akan cukup menyulitkan bagi turis – turis yang ingin tinggal
di Kota Solo ini. Belum lagi masalah transportasi publik di Solo yang rata –
rata pengemudinya masih sangat sulit untuk berbahasa Inggris. Lha wong berbahasa
Indonesia saja sulit apalagi berbahasa Inggris. Karena kebanyakan pengemudi
transportasi publik di Solo menggunakan Bahasa Jawa.
Hal itulah yang
patut untuk kita cermati bersama. Pemerintah Solo seharusnya lebih bisa
bersikap terbuka dan tidak idealis di zaman globalisasi ini, salah satunya
dengan mengkombinasikan petunjuk – petunjuk dalam Bahasa Indonesia dan Inggris.
Apalagi jika ditambah dengan memberikan pelatihan Bahasa Inggris kepada para
pengemudi transportasi publik di Solo tentunya hal ini sangat mendukung
kemajuan industri pariwisata di Solo pada khusunya dan di Indonesia pada
umumnya.