Pada sekitaran Bulan
Agustus – September 2013 yang lalu, saya berkesempatan untuk melakukan Kuliah
Kerja Praktek/Magang di Filipina Selatan, tepatnya di Pulau Mindanao. Suatu
Pulau di Negara Filipina bagian selatan yang dikenal karena konfliknya. Memang
program magang ini merupakan mata kuliah wajib yang harus ditempuh oleh setiap
mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional di Universitas Slamet Riyadi – Solo. Saya
memilih Filipina sebagai tempat magang karena memang saya ingin mengangkat
konflik di negara tersebut sebagai topik skripsi saya nantinya.
Institusi tempat magang
saya adalah Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) di Davao City. Saya
merasa senang mendapatkan kesempatan langka yang mungkin tidak bisa dirasakan
oleh mahasiswa lain. Dalam program magang ini saya mengangkat topik “Peran KJRI
Davao City dalam Memberdayakan WNI di Filipina Selatan” Topik ini saya ambil setelah
saya diajak oleh Tim KJRI Davao City untuk menyalurkan bantuan ke WNI pemukim
di Daerah Kiamba. Saya baru tahu ternyata WNI kita yang tinggal di Filipina
Selatan, khusunya Pulau Mindanao ini kehidupannya sangat tidak layak. Bayangan
saya sebelumnya jika ada WNI yang memilih tinggal di luar negeri pasti
kehidupannya jauh lebih baik dibandingkan di Tanah Airnya sendiri. Ternyata
bayangan saya tersebut meleset.
Selang seminggu setelah
mengunjungi Kiamba, saya mendapatkan kesempatan lagi untuk mengunjungi WNI,
kali ini ke Daerah Pagang, Provinsi Sarangani, Filipina Selatan. Kunjungan saya
kali ini adalah sebagai tim advance/ tim pendahulu untuk mempersiapkan acara
social gathering dengan WNI pemukim. Saya berkesempatan untuk menginap satu
malam di Municipality of Glan. Di
Pagang ini ada sesuatu yang menyentuh saya, karena sekali lagi saya dihadapkan
dengan kondisi WNI kita yang hidup sangat sederhana. Disini saya berkesempatan
bercakap – cakap dengan mereka. Mereka menceritakan kalau mayoritas mata
pencaharian mereka adalah buruh pemanjat pohon kelapa dan nelayan.
Kondisi tersebut
membuat saya berfikir, mengapa mereka dengan kondisi seperti itu masih betah
untuk tinggal di negara orang? Rupanya mereka tinggal di Filipina Selatan sudah
sejak lama bahkan mereka telah beranak pinak di Filipina Selatan itu sendiri.
Maka tidak heran jika kebanyakan dari mereka tidak bisa berbahasa Indonesia,
bahkan banyak juga yang belum pernah menginjakan kaki di Indonesia, tetapi
mereka berani menyebut diri mereka sebagai “Warga Negara Indonesia”. Sungguh
hal ini merupakan sebuah ironi. Ternyata mereka ini masuk kedalam kategori stateless alias tidak memiliki
kewarganegaraan. Kenapa demikian? Selama ini mereka mengaku sebagai WNI tetapi
melihat realita yang ada, mereka tidak bisa berbahasa Indonesia, mereka tidak
memiliki dokumen yang resmi dari Indonesia sebagai WNI, bahkan mereka lahir dan
tumbuh di Filipina hal ini telah memperkuat kalau status mereka bukanlah WNI.
Lalu apakah mereka
Warga Negara Filipina? Sampai saat ini Pemerintah Filipina belum mengakui
mereka sebagai warga negaranya, meskipun mereka sudah hidup dan beranak – pinak
di wilayah kedaulatannya. Pemerintah Filipina belum mau mengakui mereka sebagai
warga negaranya menurut saya karena mereka para “WNI” ini termasuk kedalam kaum
marjinal atau terpinggirkan yang hanya akan menyusahkan dan memberi beban bagi
pemerintah saja. Hal ini jelas menambah penderitaan para “WNI” tersebut.
Karena mereka mengaku
sebagai “WNI”, mau tidak mau mereka
berada dibawah naungan dan bimbingan dari Perwakilan RI terdekat yakni KJRI
Davao City. Pihak Konsulat sendiri meskipun merasa “dilema” tetap menganggap
mereka sebagai WNI yang harus dibina dan dilindungi. Untuk itu secara rutin
KJRI Davao City menyalurkan bantuan ekonomi, sosial dan pendidikan kepada para “WNI”
tersebut. Para “WNI” ini berharap agar nantinya mereka bisa memperoleh dwi
kewarganegaraan sebagai WNI dan juga Warga Negara Filipina. Hal ini akan
mempermudah mereka dalam mendapatkan akses akses sosial di negara tempat mereka
tinggal sekarang. Hal inilah yang harus segera dirundingkan dan dituntaskan
oleh pemerintah kedua negara baik Indonesia dan Filipina, agar status
kewarganegaraan mereka menjadi lebih jelas.