Selasa, 03 September 2013

BELAJAR DARI DAVAO CITY


Davao City merupakan kota terbesar yang ada di Pulau Mindanao di Filipina Selatan. Di kota ini terdapat beberapa konsulat dari beberapa negara salah satunya adalah Indonesia. Selain itu banyak juga kita temukan kantor – kantor perwakilan dari INGOs (International Non Governmental Organizations). Saya berkesempatan mengunjungi dan tinggal di kota ini bersama satu rekan saya dari Indonesia, kami berada di Davao dalam rangka menjalani program Kuliah Kerja Profesi (KKP), salah satu mata kuliah yang harus kami tempuh sebelum skripsi.
Ketika menginjakan kaki pertama kali di Davao City tampak bahwa kota ini sangat siap untuk menjadi salah satu kota tujuan turis – turis mancanegara termasuk saya dan satu rekan saya dari Indonesia. Selain sarana transportasi yang memadahi karena beroperasi selama 24 jam. Yang membuat saya kagum adalah petunjuk – petunjuk jalan dan toko – toko serta gedung – gedung pemerintahan semuanya tertulis dalam Bahasa Inggris.  Hal ini jelas dapat mempermudah para turis mancanegara yang akan mencari kebutuhan – kebutuhan nya selama tinggal di davao. Selain gedung – gedung, para pengemudi angkutan umum pun banyak yang sudah mengenal Bahasa Inggris, ya meskipun hanya Bahasa Inggris sederhana saja, tetapi sudah cukup membantu.
Saya ingin membandingkan dengan Kota Solo di Provinsi Jawa Tengah. Mengapa? Karena saya lahir dan tinggal di kota ini sehingga saya sudah cukup mengenal Kota Solo dengan baik. Kota Solo saat ini juga sedang gencar – gencar nya untuk menjadi salah satu kota tujuan wisata bagi turis – turis mancanegara. Hal ini dapat terlihat dari pembangunan hotel – hotel dan taman – taman yang marak belakangan ini. Namun rasanya dengan hanya membangun hotel – hotel saja belumlah cukup. Masih banyak PR yang harus dilakukan oleh Pemkot Solo. Jika berkaca dari Kota Davao yang kurang dari Solo adalah kurangnya petunjuk – petunjuk dalam Bahasa Inggris. Toko – toko, gedung – gedung pemerintahan hingga petunjuk jalan masih menggunakan Bahasa Indonesia dan bahkan malah dikombinasikan dengan Aksara Jawa hal ini tentunya akan cukup menyulitkan bagi turis – turis yang ingin tinggal di Kota Solo ini. Belum lagi masalah transportasi publik di Solo yang rata – rata pengemudinya masih sangat sulit untuk berbahasa Inggris. Lha wong berbahasa Indonesia saja sulit apalagi berbahasa Inggris. Karena kebanyakan pengemudi transportasi publik di Solo menggunakan Bahasa Jawa.
Hal itulah yang patut untuk kita cermati bersama. Pemerintah Solo seharusnya lebih bisa bersikap terbuka dan tidak idealis di zaman globalisasi ini, salah satunya dengan mengkombinasikan petunjuk – petunjuk dalam Bahasa Indonesia dan Inggris. Apalagi jika ditambah dengan memberikan pelatihan Bahasa Inggris kepada para pengemudi transportasi publik di Solo tentunya hal ini sangat mendukung kemajuan industri pariwisata di Solo pada khusunya dan di Indonesia pada umumnya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar